Ini curhat, ini review, ini adalah suara tong kosong setelah berbulan-bulan tidak mengisi blog. Haha.
Siapa yang tidak kenal sosok Dilan yang diceritakan oleh novel dengan judul yang sama, Dilan karya Pidi Baiq. Tingkahnya yang unik dan tidak dapat diprediksikan membuat Dilan menjadi apa yang bisa remaja masa kini sebut #boyfriendgoals.
Memang tidak banyak orang seperti Dilan dan sejauh yang kutahu, Dilan benar-benar hanya ada satu di muka bumi ini. Well, banyak spekulasi tentang siapa sebenarnya anak geng motor Bandung tahun 1990-an in. Sekolahku sendiri pernah heboh dengan dugaan bahwa Dilan itu sebenarnya adalah Pidi Baiq sendiri.
Haha. Nggak heran, sih. Jujur, saat itu aku belum tertarik untuk membaca Dilan karena sedang beradu ujung benang kepahaman dengan novel karya Thomas Harris. Salah sendiri ngotot minta dibeliin buku yang setelah selesai dibaca baru ketangkap maksud per kalimatnya setelah dilamunkan di tengah pelajaran kimia. Hmm.
Dan, meski aku bukan penggemar novel semacam Dilan, aku sangat menikmatinya. Mengalir dan sesekali menghempas. Bacaan yang benar-benar ringan, sehingga aku tidak keberatan membacanya di waktu colonganku,
Dan, meski aku bukan penggemar novel semacam Dilan, aku sangat menikmatinya. Mengalir dan sesekali menghempas. Bacaan yang benar-benar ringan, sehingga aku tidak keberatan membacanya di waktu colonganku,
Nah, soal kabar lumayan heboh ini melibatkanku. Ralat, ingin. Salah satu temanku ingin membuat spam tweets kepada Pidi Baiq. Entah mengapa, kalau masalah yang berhubungan dengan social media ujung-ujungnya menyeretku.
"Wi, aku yakin si Pidi ini Dilan!"
Tugas fisika waktu itu belum beres. Aku angguk-angguk saja. Kalau lagi semangat, asal diberi perhatian cukup juga akan membuat orang itu merasa diperhatikan dan berkenan memberitahu kita.
Dan betul, Meta temanku yang merupaka salah satu biang keributan di kelas ini langsung memberitahu latar belakang:
"Sifat d ajaib, kayak si Dilan-nya!"
Rumusan masalah:
1. "Siapa Dilan?"
2. "Apa hubungannya dengan Pidi Baiq?"
3. "Apakah Milea dan Dilan nyata?"
Dilanjutkan dengan metodologi penelitiannya:
"Ayo tanyain dia lewat twitter."
Hingga akhirnya sampai pada kesimpulan:
"Kalau nggak dijawab, spam bomb."
Yap. Aku diseret untuk melakukan spam tweet pada sang penulis tokoh yang digandrungi para remaja putri. Padahal, aku belum kenal si Dilan ini. Oke, a reminder to read the book sometimes. Itu kataku dalam hati saat itu.
Entah bagaimana kelanjutan rencana temanku itu. Tampaknya tidak pernah dilaksanakan. Atau mungkin nggak digubris sama sekali. Gak tahu ya, tetapi hal itu tidak membuat temanku kehilangan cintanya pada Dilan.
Malah, pas buku ketiganya keluar, gilanya sudah merembet pada hampir semua orang, termasuk para guru.
Lucunya, buka guru wanita yang tersihir oleh tokoh unik ini, melainkan para bapak guru. Mungkin mereka tergelitik oleh tingkah Dilan yang mengingatkan mereka pada masa muda tahun 90-an dan terpesona oleh nostalgia lewat tulisan yang mengalir dengan ringan. Tetapi intinya, ada benang keuntungan kecil yang dapat mereka tarik darinya.
Dan... terciptalah Dilon.
Dia adalah Dilonku, tahu 2016.
Entah bagaimana Pak Iqbal, guru matematika kami yang dingin dan killing softly ini sangat senang dipanggil Dilan. Tapi, karena anak-anak sedikit keberatan memanggil beliau dengan sosok yang tak terbayangkan, maka Pak Iqbal resmi dipanggil Dilon oleh murid kelas 12. Dua pihak sama-sama puas dengan hal tersebut.
Ada untungnya juga fenomena Dilan ini. Tau lah, bagaimana sulitnya mempertahankan semngat belajar terutama saat kelas 12? Mimpi buruk deh bagi pendidik jika anak didiknya terutama yang sudah siap-siap hengkang menuju jenjang yang lebih tinggi. Dan, yah kalau masalah belajar, ketidakmampuan itu bukan salah pelajarnya seratus persen. Ada banyak faktor yang turut serta dan salah satunya tidak dapat dipungkiri adalah guru.
Pelajaran semudah apapun takkan benar-benar dipahami jika tidak disampaikan dengan niat membuat kita tahu. Jujur, deh, pelajaran Bahasa Indonesia yang katanya akrab dengan kehidupan sehari-hari bisa membosankan, bukan, kalau gurunya cuma bilang buka halaman sekian, ini contohnya, kalau ada pertanyaan langsung lihat buku saja, lalu kerjakan latihannya.
No. Bukan kemandirian yang akan kita dapat, tetapi perasaan seolah ditolak sebelum mendekat.
Di postingan ini, aku mau mengapresiasi guru-guruku yang mengerahkan segenap kekuatannya untuk mengingatkan kita satu hal yang terus diulang-ulang melalui tindakan berbeda tiap harinya. Belajar. Belajar. Belajar.
Belajarlah, kan kubantu dirimu. Belajarlah, kan kutuntun dirimu. Belajarlah, kan kudampingi dirimu.
Dan melalui Dilon dan gombalannya pada Milenia yang meski bising selalu menjadi orang pertama yang menyelasaikan tugas-tugasnya, pelajaran yang sarat kantuk bisa membangkitkan antusiasme dengan caranya tersendiri.
"Baik, Ridha yang sedang membersihkan gigi di pojok sana. Bisa berikan saya cara untuk menangani persamaan ini?"
"Simbol ini hukumnya wajib, sedangkan yang ini mubah. Atau yang ini sunnah? Bukan, bukan, menikah itu mubah, bagi yang tak ingin. Lalu sunnah, jika sudah sanggup. Dan, saya rasa menikah itu wajib bagi Eka yang tidak bisa menahan dirinya. Iya, kan?"
Learning, yes. Laughing, yes.
Gakuat Hayati lihat quotes sama scorenya. |
"Akhirnya! Ada guru, baru pula, yang nggak salah nulis namaku!"
Pertemuan kami dengan Dilon ini diawali dengan diskusi mengenai kata ngesot dengan Riyani. Kebetulan, setelah jam istirahat adalah jadwal pelajaran matematika. Tetapi, yang masuk adalah seorang guru baru yang tidak pernah mengajar kelas 12 sebelumnya. Dia mempersilahkan kami untuk memanfaatkan jam itu untuk mengerjakan tugas pelajaran lain.
Riyani teringat mengenai diskusinya denganku dan ketika mengetahui bahwa Pak Naufal adalah guru bidang Bahasa Indonesia, ia memutuskan untuk bertanya.
Sayangnya, usai bertanya, bel tanda pergantian pelajaran berdering. Pak Naufal menjanjikan untuk menjawab pertanyaan tersebut dan meninggalkan kelas. Belum juga tiga menit, kami semua sudah lupa soal pertanyaan itu.
Pelajaran matematika berlangsung. Ya, betul. Matematika berturut-turut dalam tiga jam. Susah payah kami menahan kantuk dan mempertahankan konsentrasi sampai ketika... Pak Naufal mengetuk pintu. Mata kami langsung tertuju padanya. Beliau mengatakan ingin mengantarkan surat pada Riyani, lalu setelah tersenyum dan berterima kasi, beliau pamit.
Sontak kelas heboh. Pasalnya, ini benar-benar romantis di pikiran kami. Riyani awalnya biasa saja, sampai saat ia melihat...
Untuk: Riyani
Pecah sudah dia. Memang, selama ini orang sering salah menulis namanya tersebut. Riani atau Riyan, entah kemana 'i'-nya.
Surat tersebut ditulis dengan sepenuh hati dengan lekukan-lekukan khas. Isinya mengenai asal-mula serta tentang kata 'ngesot' itu sendiri. Kami semua kelu dan terharu. Kami kira, pertanyaan itu hanya sekedar keingintahuan biasa dan akan segera dilupakan karena remeh.
Pak Naufal resmi jadi Dilon-nya Riyani dan tentunya kami semua.
Tindakan kecil yang membawa dampak besar itu ada. Guru-guruku yang hebatlah buktinya. Guru-guru yang mau melakukan apa saja untuk membentuk murid-muridnya menjadi pribadi yang layak berjalan di lingkaran masyarakat dengan kecerdasan akal dan hati.
Dilan mengajarkan kami semua tentang itu. Dia biasa saja, tapi dapat membuat Milea yang cantik luluh. Dia tidak membelikan apapun untuk menyenangkan Milea, tapi dia dapat memberi alasan untuk terus tersenyum bahkan saat tidak memiliki apa-apa. Dilan yang ringan meski akalnya tak sekosong yang kita kira. Dia manusia biasa, tapi dapat melakukan tindakan luar biasa pada sesuatu yang ingin ia dedikasikan hidupnya padanya.
Seperti guru-guruku ini.Semua orang bisa menjadi Dilan. Tetapi, semua orang bukanlah Dilan. Semua orang adalah diri mereka sendiri, dengan segala yang mereka miliki dan kehendaki untuk berbagi bersama orang yang diperjuangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar